Seruan publik yang menuntut penegakan hukum terhadap Saudara Bahar tanpa pandang bulu merupakan sebuah momentum penting untuk menganalisis bagaimana prinsip-prinsip hukum dan keadilan diterapkan dalam konteks sosial dan institusional. Dalam hal ini, terdapat sejumlah isu yang memerlukan perhatian mendalam, mulai dari aspek penegakan hukum, hubungan ketenagakerjaan, hingga refleksi filosofis tentang keadilan itu sendiri.
Penegakan Hukum oleh Aparat Kepolisian
Prinsip due process of law merupakan fondasi dalam setiap proses penegakan hukum. Aparat kepolisian tidak hanya bertugas menindaklanjuti laporan, tetapi juga memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa setiap tindakan, termasuk penangkapan, dilakukan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang kepastian hukum harus menjadi acuan utama.
Menuntut penangkapan tanpa bukti yang kuat, atau hanya berdasarkan tekanan emosional, bertentangan dengan prinsip hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Bukti yang “sumir” atau tidak memadai dapat melemahkan posisi hukum pelapor sekaligus mencederai hak asasi pihak yang dituduh. Aparat hukum tidak boleh tunduk pada tekanan publik yang mengabaikan substansi fakta; tindakan semacam itu berpotensi merusak integritas sistem hukum yang telah diatur secara sistematis.
Tuntutan untuk memecat Saudara Bahar sebagai konsekuensi dugaan tindak kriminal di luar lingkup hubungan kerja menunjukkan kesalahpahaman mendasar antara hukum pidana dan hukum perburuhan. Dalam ranah ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan yang sah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (atau aturan penggantinya). Dugaan tindak pidana, tanpa adanya putusan hukum berkekuatan tetap, tidak dapat dijadikan dasar langsung untuk melakukan PHK.
Perusahaan wajib memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil terkait pekerja telah melalui mekanisme yang sah, termasuk mempertimbangkan hak-hak pekerja secara adil. Memecat seorang pekerja tanpa landasan hukum yang jelas dapat dianggap sebagai tindakan sewenang-wenang yang justru melanggar asas fair treatment dalam hubungan industrial.
Seruan yang menuntut tindakan hukum dan administratif terhadap Saudara Bahar sekaligus mencerminkan kurangnya pemahaman tentang perbedaan mendasar antara domain hukum pidana dan hukum perburuhan. Dugaan tindak kriminal adalah ranah aparat penegak hukum, sementara hubungan kerja diatur dalam kerangka hukum ketenagakerjaan. Mengaburkan batas antara dua domain ini hanya akan menciptakan kebingungan dan ketidakpastian hukum.
Perusahaan yang memutus hubungan kerja secara sepihak tanpa dasar hukum yang kuat juga menghadapi risiko hukum yang tidak kecil, termasuk potensi gugatan dari pekerja yang di-PHK secara tidak sah. Tindakan emosional semacam ini tidak hanya merugikan perusahaan secara legal tetapi juga melanggar prinsip keadilan yang justru ingin ditegakkan.
Hukum, dalam fungsinya sebagai instrumen keadilan, bukanlah alat untuk memuaskan tekanan kelompok tertentu. Aristoteles mendefinisikan keadilan sebagai pemberian hak kepada pihak yang berhak, dengan landasan proses yang sahih dan transparan. Memaksakan institusi hukum atau perusahaan untuk bertindak di luar prosedur hanya akan menciptakan ketidakadilan baru.
Tuntutan yang emosional dan tergesa-gesa sering kali melahirkan keputusan yang tidak adil, baik bagi pihak yang dituduh maupun institusi yang mengambil tindakan. Keadilan sejati hanya dapat dicapai ketika fakta, bukti, dan prosedur yang sah dijadikan pedoman utama dalam pengambilan keputusan.
Seruan aksi yang mendesak aparat penegak hukum dan perusahaan untuk segera mengambil tindakan tanpa melalui prosedur yang benar adalah bentuk pengabaian terhadap prinsip hukum dan keadilan. Aparat kepolisian dan perusahaan memiliki kewajiban moral dan legal untuk memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil didasarkan pada fakta dan bukti yang kuat, bukan desakan emosional. Tindakan yang tidak sesuai dengan aturan hukum tidak hanya merugikan pihak-pihak yang terlibat, tetapi juga merusak kredibilitas institusi yang menjalankan keputusan tersebut.
Untuk itu, langkah yang lebih bijak adalah mendorong semua pihak untuk memastikan bahwa proses hukum dan ketenagakerjaan berjalan sesuai prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan secara benar tanpa melanggar hak asasi manusia atau mengabaikan prinsip-prinsip hukum perburuhan.
Penulis: Amar, Wakil Ketua Serikat Karyawan “SEKAR” PT VDNI