KENDARI, CORONGSULTRA.COM – Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) Sulawesi Tenggara (Sultra) menilai dalam hal pemanggilan dan pemeriksaan dua jurnalis oleh penyidik Propam Polresta Kendari, terkait pemberitaan oknum polisi diduga melakukan pelecehan seksual adalah bagian dari pengangkangan Udang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menjadi dasar hukum para jurnalis.
Menurut Ketua PJI Sultra Agusalim Patundru melalui Wakil Ketua PJI Sultra Karmin, proses pemanggilan tersebut selain diduga kuat adanya bentuk pembungkaman wartawan, juga sebagai cerminan bahwa Kapolresta Kendari dinilai tidak profesional dalam penegakan hukum.
“Sehingga berkaitan hal itu kami rasa perlunya Kapolda Sultra untuk mengevaluasi Kapolresta Kendari,” tandasnya.
Dikutip dari berbagai portal berita, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari mengecam tindakan penyidik Propam Polresta Kendari dalam melakukan pemanggilan, terhadap dua jurnalis di Kota Kendari untuk menjadi saksi terkait pemberitaan kasus oknum polisi yang diduga sebagai pelaku pelecehan seksual terhadap Ibu Rumah Tangga (IRT).
Pemanggilan jurnalis Tribunnewssultra bernama Samsul tertuang dalam Surat Panggilan Nomor : Spg/ 06/II/HUK.12.10.1./2025/Sipropam, tanggal 22 Februari 2025.
Merujuk pada Undang-Undang Pers, khususnya Pasal 4 ayat (4), AJI menegaskan bahwa jurnalis memiliki hak tolak untuk tidak mengungkapkan identitas narasumber maupun informasi yang diperoleh dalam kapasitas jurnalistik. Hak ini merupakan bagian dari perlindungan kebebasan pers yang bertujuan untuk menjaga independensi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.
Sebagai bagian dari prinsip tersebut, jurnalis tidak dapat dipaksa untuk hadir sebagai saksi dalam proses hukum yang berkaitan dengan informasi yang diperoleh dalam kegiatan jurnalistik. Pemanggilan jurnalis sebagai saksi dalam kasus yang bersumber dari hasil liputan berpotensi melanggar Pasal 8 UU Pers, yang menegaskan bahwa jurnalis mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya.
Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara (Sultra) mengecam tindakan Polresta Kendari yang melakukan intimidasi dengan memaksa dua jurnalis menjadi saksi dalam kasus dugaan kekerasan seksual oleh Aipda Amiruddin terhadap seorang ibu rumah tangga.
Ketua IJTI Sultra Saharudin mengatakan, kedua jurnalis yaitu Samsul (Tribunnews Sultra)dan Nur Fahriansyah (Simpul Indonesia)) awalnya menolak memberikan BAP, namun karena mendapat tekanan, mereka akhirnya menjalani pemeriksaan selama lima jam terkait proses liputan dan informasi dari narasumber korban kekerasan seksual.
IJTI Sultra mengingatkan agar penyidik menghormati Hak Tolak para jurnalis agar mereka tetap bisa bekerja secara independen dan imparsial tanpa membahayakan narasumber. Jika jurnalis dipaksa memberikan keterangan yang dapat digunakan untuk menjerat narasumber, hal ini akan merusak kepercayaan publik terhadap pers dan menghambat kebebasan pers yang dijamin oleh UU Pers.
Kasus intimidasi dan pemaksaan terhadap jurnalis ini berawal dari pemberitaan dugaan pelecehan seksual oleh Aipda Amiruddin terhadap seorang ibu rumah tangga.
Pada Kamis (30/1/2025), Samsul dan Nur Fahriansyah mewawancarai korban dan suaminya. Sehari setelahnya, sebelum menerbitkan berita, keduanya berusaha mengonfirmasi informasi kepada Propam Polda Sultra dan terduga pelaku, Aipda Amiruddin.
“Kami melakukan konfirmasi untuk keberimbangan berita, tetapi nomor terduga pelaku Aipda Amiruddin sudah tidak aktif,” kata Samsul.
Pada Senin (3/2/2025) pukul 13.00 WITA, setelah berita tayang, Samsul dan Nur Fahriansyah dihubungi oleh sejumlah polisi dan diminta menghadap ke Propam Polresta Kendari. Awalnya, mereka mengira pemanggilan tersebut untuk memberikan hak jawab kepada Propam. Namun, setibanya di Polresta Kendari, mereka justru mendapatkan intimidasi dan dipaksa memberikan keterangan (BAP) terkait informasi narasumber berdasarkan berita yang tayang di Tribunnews Sultra dan Simpul Indonesia.
“Sebelum dimintai keterangan, saya dan Nur sempat menolak karena sudah menjelaskan kepada penyidik bahwa kami hanya memberitakan dan wartawan tidak bisa dimintai keterangan,” ujar Samsul.
Namun, penyidik tetap memaksa dengan alasan hanya ingin mencari tahu informasi awal, sehingga terjadi perdebatan. Akhirnya, karena terus ditekan, Samsul dan Nur menjalani pemeriksaan oleh penyidik Propam Polresta Kendari.
“Terakhir, setelah diperiksa, kami diminta tanda tangan oleh penyidik. Kami tidak mengerti apakah itu BAP, tetapi penyidik mengatakan bahwa itu hanya keterangan biasa,” tambah Samsul.
Selanjutnya, pada Jumat (21/2/2025), Samsul dan Nur kembali menerima surat panggilan dari Propam Polresta Kendari dengan nomor: Spg/06/II/HUK.12.10.1./2025/Sipropam untuk menjadi saksi terkait kasus tersebut. [*]