JAKARTA, CORONGSULTRA.COM – Ketua Fahmi Sultra-Jakarta Midul Makati menduga ada keterlibatan partai penguasa dan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam mengintervensi kasus hukum yang dihadapi Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abdul Azis terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi pemilihan calon Wakil Bupati Koltim, sehingga membuat Kejaksaan Negeri (Kejari) Kolaka tidak berdaya.
Midul menduga bahwa informasi yang beredar Abdul Azis akan ditunjuk menjadi ketua DPC Partai Gerindra Koltim, sehingga relevan dengan dugaan publik bahwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Bupati Koltim akan lenyap berhubung partai tersebut adalah partai penguasa yang ketua umumnya adalah Presiden Republik Indonesia.
“Bahwa informasi yang beredar Abdul Azis akan ditunjuk menjadi ketua DPC Partai Gerindra Kolaka Timur, sehingga relevan dengan dugaan publik bahwa kasus dugaan suap dan gratifikasi Bupati Kolaka Timur akan lenyap dari peradaban berhubung partai tersebut adalah partai penguasa yang ketua umumnya adalah Presiden Republik Indonesia,” kata Midul melalui keterangannya, Kamis (13/3/2025).
Midul mengungkapkan keheranannya, begitu keluar surat panggilan pemeriksaan dari Kejari Kolaka tiba-tiba Gubernur Andi Sumagerukka langsung ada agenda safari ramadan di Koltim.
Menurutnya ini bisa menimbulkan conflict of interest dan terbukti bahwa alasan ketidakhadiran Abdul Azis di Kejari karena Gubernur Sultra sebagai Dewan Pembina Partai Gerindra Sultra datang di Koltim.
“Saya kira erat hubungannya antara kehadiran Gubernur Sultra dan penundaan pemeriksaan serta proses penegakan hukum terhadap Bupati Kolaka Timur. Untuk diketahui negara ini adalah negara hukum bukan negara kekuasaan (rechtsstaat bukan machtssraat). Jadi tidak ada urgensinya kehadiran Gubernur Sultra bisa menghambat proses penegakan hukum untuk Abdul Azis,” tegasnya.
Selain itu, Midul juga duga Kejari Kolaka tidak profesional dan terkesan tertutup dalam menangani perkara dugaan suap dan gratifikasi pemilihan calon Wakil Bupati Koltim.
“Ini karena Kejari Kolaka dianggap lambat dalam menindaklanjuti perkara tersebut dan tidak transparan dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Kejari Kolaka terlalu mengikuti alur permainan Abdul Azis, seakan Abdul Azis ini atasan mereka bisa diatur-atur,” ujarnya.
Midul mengatakan, kedudukan hukum (legal standing) Kejaksaan sangat jelas, pasal 30 ayat (1) dan pasal 30B huruf a dan d Undang-Undang No.11 tahun 2021 atas perubahan undang-undang no. 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Lanjutnya bahwa, kewenangan Kejaksaan dalam penyelidikan dan penyidikan perkara Tipikor juga diatur di dalam Peraturan Jaksa Agung No. Per-039/A/JA/10/2010 sebagaimana diubah dengan Peraturan Jaksa Agung No. Per-017/A/JA/07/2014. Bahwa, penyelidikan kasus Tipikor oleh kejaksaan bersumber dari, laporan, hasil audit BPK/BPKP, hasil pemeriksaan dari unit pengawasan internal, pelimpahan perkara dari jaksa agung muda tindak pidana umum/khusus.
“Jadi kalau saya lihat apa yang diperankan Abdul Azis ini adalah cara-cara permainan mafia hukum, dan Kejari Kolaka terjebak dalam permainan mafia hukum yang diperankan oleh Abdul Azis,” ujarnya.
Pola seperti ini kata Midul, biasa terjadi dalam dunia penegakan hukum, dan pola seperti ini adalah strategi dan taktik para oknum mafia hukum untuk mengelabui publik agar tidak fokus, dan ketika publik tidak fokus maka persoalan korupsi yang ditangani Kejari Kolaka menjadi buram dan gelap sehingga lenyap dari peradaban.
Dia menyampaikan, publik berharap agar tidak ada cawe-cawe Partai Gerindra di Sultra untuk menutup kasus dugaan suap dan gratifikasi Abdul Azis.
“Jika terjadi sama saja mereka menentang Asta Cita Ketua Umum Partai Gerindra yang merupakan Presiden Republik Indonesia. Beliau ini kita kenal anti terhadap pelaku tindak pidana korupsi bahkan Pak Presiden menyarankan agar koruptor dihukum 50 tahun penjara,” tutup Midul.
REDAKSI