KENDARI, CORONGSULTRA.COM – Pihak perusahaan PT. Wijaya Inti Nusantara (WIN) membayar kekurangan upah 27 eks karyawannya mengacu sistem pengupahan yang mereka terapkan menggunakan penggajian berdasarkan satuan waktu.
“Di mana satuan waktu ini berdasarkan jam, mereka itu tidak lebih 8 jam bekerja sebagaimana ketentuan undang-undang,” kata Head Office Legal PT. WIN, Alfian Pradana Liambo ditemui seusai mengikuti rapat dengar pendapat di DPRD Sultra, Senin (28/7/2025).
Ia melanjutkan bahwa dasar upah atau nilai pengupahan itu upah minimum dibagi jumlah hari kerja yaitu 25 hari kerja. Di mana 25 hari kerja menentukan hasil perhari, dari situ akan ditentukan berapa jam kerja karyawan.
“Akumulasi pekerjaan itu yang penting tidak lebih 40 jam, makanya secara akumulasi muncullah hasil berapa gaji per bulan. Kita sudah di angka misalnya 20 ribu atau 25 ribu seperti itu ditambah lagi dengan insentif. Insentif ini kerja dan tidak kerja istilahnya tetap dapat,” ujarnya.
“Itu totalnya 1,8 jika diakumulasikan sebenarnya antara tunjangan tetap, insentif, dan uang makan dengan uang yang berdasarkan produktivitas itu lebih. Di mana angka itu sampai 6, 8, 9 bahkan ada yang 12 juta,” ujarnya lagi.
Terkait upah minimum provinsi atau UMP, Alfian mengatakan, PT WIN tetap menggunakan UMP. “Jadi UMP sekarang Rp3 juta 315 ribu ini seperti konsep tadi dibagi jumlah harian. Bagi mereka yang sudah bekerja lebih dari 1 tahun pasti lebih juga gajinya. Jadi UMP itu hanya dasar bilangan pembagi. Nah lebihnya dari pada itu ya bonus dan insentif tadi. Prinsipnya 3315 juta angka dasar dan itu diterapkan,” jelasnya.
Alfian mengatakan, sedangkan 27 eks karyawan PT WIN mengikut UMP sebelumnya yakni tahun 2023 ke bawah.
“Jadi di tahun 2020 yang paling rendah itu seingat saya Rp2 juta 800 ribu. Inilah yang menjadi bilangan pembagi pada saat itu. Nah kalau sekarang UMP kita 3315 (Rp3 juta 315 ribu, Red.) berbedalah tidak mungkin diterapkan dengan (eks) kawan-kawan yang sekarang ini,” katanya.
Menurut Alfian, formulasi pengupahan lebih pada miskomunikasi. Sebenarnya eks karyawan PT WIN paham, tetapi lagi-lagi dia tidak tahu apakah mungkin ada faktor lain, sehingga menjadi acuan bayar tetapi faktanya adalah upah minimum itu sudah berkesesuaian.
Dia mengatakan, kalau kembali ke perjanjian kerja atau hubungan kerja terjadi karena adanya perintah kerja, objek pekerjaan, dan upah. Sebenarnya kalau eks karyawan PT WIN katakan tidak adanya perjanjian kerja kemudian terjadi perbudakan itu keliru. Karena berbicara masalah pengupahan tetap menjadi substansi di mana pembayaran upah minimum itu berdasarkan kebutuhan layak hidup.
“Perjanjian itu kan ada tertulis dan lisan, perjanjian kerja yang sekarang digugat oleh teman-teman okelah tidak ada tertulis misalnya tetapi berbentuk lisan, apakah membatalkan perjanjian, tentu tidak. Karena salah satu syarat perjanjian ya itu tadi, hubungan kerja, upah, subjek hukum, objek perjanjian, dan objek pekerjaan,” tuturnya.
Terkait aspirasi 27 eks karyawan PT WIN, menurut Alfan itu cacat materil. Perusahaan sudah melakukan kesepakatan bersama dan ini sudah dibahas sebelumnya, hanya karena tidak mungkin dalam forum rapat dengar pendapat DPRD mau disampaikan semuanya karena keterbatasan.
“Pada prinsipnya sudah disampaikan ada perjanjian bersama. Dan kami dengan kuasa hukum (27 eks karyawan PT WIN) sudah jadi pembahasan juga, makanya di beberapa poin itu salah satu substansinya adalah di perjanjian bersama tidak akan ada lagi gugatan di kemudian hari dari nilai pesangon yang ada,” tandasnya.
REDAKSI
https://shorturl.fm/TZPLq
https://shorturl.fm/u7GHr