KENDARI, CORONGSULTRA.COM – Komisi II DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar audiens dengan salah satu praktisi pariwisata Sultra, Ahmad Nizar. Audiens ini sangat menarik karena dihadiri lengkap oleh Ketua dan seluruh anggota Komisi II DPRD, Selasa (4/11/2025).
Dalam audiens tersebut, Ahmad Nizar atau disapa Bang Ino memaparkan tantangan dan strategi dalam pengembangan desa wisata di wilayah Sultra. Diskusi sangat menarik karena DPRD juga mengusulkan rancangan peraturan daerah (Ranperda) fasilitasi desa wisata.
Nizar mengungkapkan, perlu ada upaya dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra mendukung sertifikasi desa wisata. Ia mencontohkan, pendampingan yang dilakukannya pada Desa Wisata Moramo di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel) agar bisa mendapatkan sertifikasi desa wisata berkelanjutan sesuai standar UNWTO (Organisasi Pariwisata Dunia) namun belum berhasil .
“Desa Wisata Moramo sempat mewakili Sultra dalam proses sertifikasi tersebut, namun dalam seleksi enam desa wisata terpilih secara nasional, perwakilan Sultra belum berhasil,” ujar Nizar.
Kegagalan ini dijadikan pelajaran berharga untuk mendorong Desa Wisata Namu, juga di Konsel, yang akhirnya berhasil masuk dalam 15 besar terbaik nasional. Targetnya ke depan adalah bagaimana Desa tersebut bisa tersertifikasi sesuai standar UNWTO.
Selain itu, Nizar menekankan bahwa kesiapan akomodasi, seperti kepemilikan Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk homestay di desa wisata menjadi fokus perhatian Kementerian Pariwisata.
Nizar menambahkan, pola pengembangan desa wisata di Sultra tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan pulau jawa karena perbedaan signifikan populasi dan aksesibilitas.
“Aksesibilitas di Sultra membutuhkan energi dan biaya besar (misalnya, harus menyeberang pulau), berbeda dengan kemudahan perjalanan di jawa yang sekali jalan dapat mencapai banyak destinasi wisata,” jelasnya.
Oleh karena itu, Nizar menyarankan agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sultra fokus menarik satu wisatawan mancanegara (Wisman) daripada mengejar lima wisatawan domestik seperti di jawa.
Isu regulasi juga menjadi perhatian serius. Menurut Nizar, harus ada payung hukum yang jelas bagi desa wisata. Ia mencontohkan kerugian yang dialami di Kota Baubau, karena peraturan daerah (Perda) tentang PAD (Pendapatan Asli Daerah) pariwisata sudah diajukan lebih dari dua tahun tetapi belum disetujui, mengakibatkan PAD dari sektor pariwisata tidak bisa ditarik.
Lebih lanjut, Nizar menyarankan agar fokus pengembangan Desa Wisata tidak hanya pada angka kunjungan (kuantitas), tetapi pada kualitas pengelolaan dan output.
“Jika di Jawa seminggu bisa Rp3 miliar, di Sultra output Rp500 juta pun sudah dianggap sukses,” kata Nizar, menekankan pentingnya tolok ukur yang realistis.
Nizar menutup paparannya dengan menegaskan pentingnya memiliki masterplan dan siteplan yang mencetak dokumen alur dan lokasi pembangunan Desa Wisata. Ia menyarankan supaya ditempel di gerbang masuk wisata sebagai panduan bagi investor atau perusahaan penyalur Corporate Social Responsibility (CSR).
Dia juga menyampaikan harapan agar destinasi unggulan seperti Desa Namu yang telah masuk 15 terbaik nasional dapat disuplai atau didukung penuh oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Desa Wisata Sani-sani di Kabupaten Kolaka.






