Menakar Siapa Calon Jenderal ASN Kolaka Timur

Oleh: Abdul Muis

Di atas hamparan birokrasi Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur (Koltim), sebuah babak baru pertarungan baru saja dimulai. Kursi kepemimpinan sipil tertinggi, tahta Sekretaris Daerah (Sekda), kini menjadi arena persimpangan antara harapan publik dan intrik di balik layar kekuasaan.

Setelah Muhammad Ikbal Tongasa meletakkan jabatannya, posisi yang kerap dijuluki “Jenderal ASN Koltim” ini sekarang dipegang oleh nahkoda sementara, Pejabat (Pj) Sekda, La Fala, yang tongkat estafetnya sudah dua kali diperpanjang, mengisyaratkan jeda mencari Sekda Koltim definitif.

Kini, masa penantian itu akan usai. Pelaksana tugas (Plt) Bupati Koltim, Yosep Sahaka, telah membuka gerbang seleksi, mencari satu sosok yang akan memegang kemudi birokrasi Koltim selama lima tahun ke depan.

Enam nama kini bertarung dalam pusaran seleksi. Mereka adalah wajah-wajah terbaik birokrasi yang siap menguji kapabilitas. Namun, di antara enam kandidat yang lolos, desas-desus berhembus lebih kencang daripada angin pesisir.

Sebuah isu yang tak lagi sekadar bisikan, melainkan gemuruh yang memenuhi ruang-ruang publik, bahwa sebagian calon kini sedang mencari jalan, bukan hanya mengandalkan nilai prestasi di atas kertas.

Tak tanggung-tanggung, aroma kekuatan tersembunyi terendus kuat. Disebut-sebut, tiga dari enam calon membawa serta bekingan—baik melalui jejaring organisasi, sentuhan tangan mantan Bupati Koltim, hingga dugaan kontestan yang memiliki ikatan darah dengan keluarga inti Bupati.

Ini adalah potret klasik di mana bobot dan bebet seorang profesional harus berhadapan dengan gravitasi kedekatan dan kekuatan orang dalam.

Proses ini, seyogianya adalah penentuan calon Sekda Koltim berdasarkan kualitas, integritas, kompetensi, dan kemampuan manajerial, bukan sekadar melihat siapa yang paling dekat dengan lingkar dalam.

Jika kedekatan menjadi mata uang utama, maka dampaknya akan menjadi bayangan kelam bagi pembangunan Koltim—sebuah risiko terperosoknya daerah pada lingkaran suap-menyuap dan transaksi jabatan yang merusak.

Di sinilah, mata elang aparat penegak hukum (APH), mulai dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, hingga Kejaksaan harusnya membidik tajam. Mereka seharusnya menjadi penjaga, memastikan bahwa seleksi ini berjalan di atas rel keahlian, dan bukan di atas hamparan tebal bekingan dan uang banyak.

Sementara perdebatan birokrasi Koltim terjadi di ruang-ruang formal, suara akar rumput terdengar jelas dari hiruk pikuk warung kopi. Sebuah aspirasi kolektif mengkristal. Masyarakat Koltim merindukan ‘Putra Daerah’ sejati sebagai Sekda.

Sosok yang bukan hanya mengerti regulasi, tetapi juga memahami tatanan kultur Koltim yang mendalam, sehingga pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan infrastruktur dapat merata hingga ke pelosok desa.

Maka, akankah harapan itu terwujud? Di antara enam nama yang kini meniti seleksi, tersemat beberapa nama yang merupakan putra daerah Koltim yang kapasitasnya diyakini mampu menduduki kursi DT 6 Koltim tersebut.

Harapan itu kini menggantung—sebuah penantian bagi masyarakat Koltim. Mereka berharap, kali ini, yang duduk di singgasana Jenderal ASN adalah sang nahkoda sejati, yang diutus oleh Meritokrasi* bukan oleh negosiasi dan kekuatan uang.

*Meritokrasi: Sistem yang memberikan penghargaan dan posisi kepada individu berdasarkan kemampuan, prestasi, dan kompetensi, bukan karena faktor kekayaan, keturunan, atau kekerabatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar