KENDARI, CORONGSULTRA.COM – Kabar keberhasilan Partai Gema Bangsa Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam menuntaskan 100 persen kepengurusan kabupaten/kota sontak menjadi bahan perbincangan publik setelah unggahan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai tersebut dipublikasikan melalui media sosial Instagram pada hari Jumat, 28 November 2025.
Dalam unggahan itu, partai menunjukkan rasa puas dan percaya diri bahwa konsolidasi organisasi di Sultra berjalan mulus. Namun tak butuh waktu lama sebelum euforia itu berubah menjadi sorotan tajam, setidaknya di Kabupaten Konawe.
Melalui SK Nomor 462/GB.1/DPP Gema Bangsa/XI/2025 yang ditandatangani di Jakarta tanggal 6 November 2025, DPP secara resmi mengesahkan struktur Dewan Pimpinan Daerah Partai Gema Bangsa Konawe. Nama-nama pengurus mulai dari Ketua hingga Wakil Bendahara tercantum jelas dalam dokumen tersebut. Sekilas tampak formal dan prosedural. Namun fakta berbicara lain.
Salah satu nama dalam struktur, Nurul Khasanah Rahni yang kerap disapa Ana Nurul menyatakan bahwa dirinya tidak pernah dihubungi, tidak pernah diminta persetujuan, bahkan tidak mengetahui adanya proses pembentukan pengurus. Dengan tegas ia mengatakan, namanya dimasukkan tanpa konfirmasi sedikit pun. Bagi Ana Nurul, ini bukan sekadar pencantutan nama, tetapi tindakan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum dan reputasi.
Masalah ini tidak sederhana. Dalam SK tersebut, Nurul tercatat sebagai Wakil Ketua DPD. Sebagai sebuah dokumen resmi organisasi politik, SK bukan hanya informasi administratif—melainkan alat hukum yang menimbulkan kedudukan, hak, dan kewajiban. Ketika seseorang dicantumkan tanpa persetujuan, maka ruang persoalan bergeser bukan lagi pada etika, tetapi juga potensi tindak pidana.
Sejumlah ahli dan pemerhati hukum yang mengikuti perkembangan isu ini menilai bahwa persoalan tersebut memiliki kedekatan logis dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, yang memuat unsur tindakan membuat atau menggunakan surat seolah-olah benar untuk menimbulkan akibat hukum.
Walaupun pasal tersebut tidak secara eksplisit menyebut kasus pencatutan nama, doktrin hukum pidana menilai bahwa mencantumkan identitas seseorang tanpa izin pada dokumen yang menimbulkan hak dan kewajiban termasuk bagian dari delik “menggunakan surat palsu”. Ancaman pidananya tercatat tidak ringan — maksimal 6 tahun penjara.
Situasi semakin kompleks karena SK kepengurusan Gema Bangsa Konawe tersebut bukan hanya beredar secara internal, melainkan juga dipublikasikan secara online melalui media sosial. Dalam konteks ini, sejumlah pemerhati digital menilai bahwa potensi penerapan UU ITE dapat muncul, terutama apabila publikasi tersebut menyebabkan kerugian bagi pihak yang dicatut identitasnya.
Kasus ini menciptakan pertanyaan besar: apakah klaim 100% kepengurusan pada 28 November 2025 benar-benar hasil konsolidasi yang transparan, atau sekadar upaya mengejar angka demi menggugurkan kewajiban administratif? Jika pembentukan struktur dilakukan tanpa keterlibatan nyata individu yang dicantumkan, maka keberhasilan itu hanya kosmetik — tampak mulus di permukaan, tetapi cacat secara prosedur.
“Persoalan ini bukan tentang jabatan, melainkan tentang harkat dan kebebasan menentukan afiliasi politik. Bagi publik, persoalan ini menjadi peringatan bahwa konsolidasi politik tanpa penghormatan terhadap hak individu hanya akan memperlebar krisis kepercayaan terhadap institusi demokrasi,” paparnya.
Bagi Partai Gema Bangsa, kasus ini menjadi ujian pertama: memilih membiarkan masalah berlalu, atau berdiri di sisi integritas dengan mengklarifikasi, mengevaluasi, dan memperbaiki mekanisme rekrutmen di daerah.
Jika demokrasi dibangun atas dasar sukarela, transparansi, dan penghormatan terhadap hak warga, maka pencatutan nama sekecil apa pun bukan sekadar “kekhilafan”, melainkan tanda kemunduran etika politik.
TIM REDAKSI







