KENDARI, CORONGSULTRA.COM – Masalah status lahan yang telah didiami warga Desa Pola, Kecamatan Pasir Putih, Kabupaten Muna, selama puluhan tahun menjadi pembahasan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar oleh Komisi I DPRD Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Senin (27/10/2010).
Ketua Komisi I DPRD Sultra, La Isra, mengungkapkan, warga Desa Pola menempati dan mengolah lahan tersebut melalui program yang disebut Reskel Desa (Relokasi Kesejahteraan Desa), di mana mereka berpindah, berkebun, dan mendirikan permukiman.
La Isra menilai lokasi tersebut seharusnya tidak dapat ditetapkan sebagai zona merah atau kawasan terlarang oleh Dinas Kehutanan maupun BPN. Dari kunjungan mereka di Desa Pola, ditemukan fakta warga membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan indikasi bahwa negara mengakui tanah itu sebagai milik warga yang berdomisili di sana.
“Tidak mungkin pemerintah di masa lalu menempatkan warga di tanah yang berstatus kawasan zona merah,” tegas La Isra.
Ia menyebut masalah ini sebagai contoh klasik benturan kebijakan tata ruang dan realita di lapangan. La Isra juga menegaskan, masalah ini bersentuhan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan menjadi kewenangan dari Pemerintah Kabupaten Muna.
Sementara itu, Anggota Komisi I DPRD Sultra, Suparjo, menyoroti keinginan masyarakat Desa Pola untuk memperoleh SHM atau sertifikat tanah, yang prosesnya terhambat karena adanya tanah yang berstatus HPK (Hutan Produksi Konversi) atau HPL (Hak Pengelolaan Lahan).
Suparjo menjelaskan, untuk mendapatkan sertifikat, diperlukan adanya proses penurunan status dari HPK/HPL menjadi APL (Areal Penggunaan Lain). Mengingat masyarakat telah mendiami lokasi tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
Dia meminta Dinas Kehutanan dan pihak berwenang terkait lainnya untuk memberikan solusi dan langkah-langkah konkret mengenai apa yang harus dilakukan masyarakat Desa Pola untuk mengajukan penurunan status tersebut dan memenuhi syarat agar bisa memperoleh sertifikat.
Dia mengutip keputusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan masyarakat mengolah hutan tanpa seizin pemerintah (dalam konteks mengolah, bukan sertifikasi kepemilikan), Suparjo menekankan bahwa proses penurunan status tetap diperlukan untuk legalisasi kepemilikan tanah.
REDAKSI





