Diduga Menambang di Lahan Status Quo, APH Diminta Tindak PT Antam Konut

KONAWE UTARA, CORONGSULTRA.COM PT Antam UBPN Konawe Utara (Konut) kembali menuai kritik tajam. Perusahaan tambang plat merah tersebut diduga beraktivitas menambang di kawasan Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konut, meskipun objek lahan tersebut telah ditetapkan berstatus status quo oleh Pengadilan Negeri (PN) Unaaha.

Status status quo secara hukum berarti larangan mutlak bagi seluruh pihak—baik perusahaan maupun warga—untuk melakukan aktivitas apa pun di atas objek lahan sengketa hingga ada putusan berkekuatan hukum tetap (Inkrah).

Ketua DPW Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Sulawesi Tenggara (Sultra), La Songo, mengecam keras dugaan pelanggaran ini. Menurutnya, tindakan PT Antam tidak hanya melanggar putusan sementara pengadilan, tetapi juga mencederai martabat rakyat kecil dan merendahkan institusi peradilan.

“Ini bukan sekadar konflik tanah. Ini pertarungan antara rakyat kecil dan perusahaan negara. Jika status quo saja mereka langgar, di mana wibawa hukum kita?” tegas La Songo, Kamis (6/11/2025).

La Songo mendesak aparat penegak hukum (APH), yakni pengadilan, kepolisian, dan kejaksaan, untuk segera menghentikan seluruh aktivitas tambang yang diklaim sudah berlangsung selama 12 hari berturut-turut di wilayah sengketa tersebut.

“Aparat penegak hukum harus segera menghentikan seluruh aktivitas dan melakukan pengamanan di lahan status quo. Penghentian kegiatan, penyegelan alat berat, dan larangan operasional harus segera diberlakukan hingga putusan berkekuatan hukum tetap,” pintanya.

Ia menegaskan, penegakan aturan tidak boleh menunggu terjadinya konflik fisik di lapangan. Jika hukum dilanggar dan dibiarkan, hal ini akan menjadi preseden buruk bagi negara. PPWI Sultra bahkan mengancam akan membawa persoalan dugaan praktik KKN di PT Antam UBPN Konut ke KPK RI dan Istana Negara, jika penegakan hukum di daerah berjalan lambat.

Sebelumnya, Majelis Hakim PN Unaaha bersama BPN Konut telah melakukan sidang lapangan untuk mencocokkan titik koordinat lahan sengketa seluas 15 hektare milik warga dengan peta polygon.

Ironisnya, di tengah proses verifikasi dan belum adanya putusan inkrah, aktivitas alat berat disebut masih berjalan. Kondisi ini memicu pertanyaan mengenai ketegasan negara terhadap perusahaan pelat merah.

Kuasa hukum warga, Rois, SSi, SH, MH, menjelaskan, kliennya, Basir M, memiliki empat Surat Keterangan Tanah (SKT) yang sah secara hukum. Legalitas ini kata Rois, telah diperkuat oleh serangkaian putusan pengadilan, termasuk Putusan PK No. 15 PK/Pid/2015; Putusan Perdata PN Unaaha Tahun 2023; Putusan Banding PT DKI Jakarta Tahun 2024; dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Tahun 2024.

Meskipun demikian, aktivitas penambangan tetap berlangsung. “PT Antam mengklaim sudah membayar kompensasi. Faktanya, pembayaran dilakukan kepada pihak lain yang bukan pemilik sah. Ini bukan sekadar kelalaian administratif, ini perampasan hak rakyat,” unkap Rois.

Kasus sengketa lahan ini kini menjadi ujian bagi negara, apakah hukum akan berpihak pada keadilan rakyat atau tunduk pada kekuatan modal korporasi. Jika pengadilan memihak pada bukti sah warga, kasus ini dapat menjadi yurisprudensi penting. Namun, jika sebaliknya, rakyat akan “menang di atas kertas, tetapi kalah di tanahnya sendiri.”

REDAKSI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *