KENDARI, CORONGSULTRA.COM – Jelang pencocokan objek perkara di lahan tapak kuda yang telah terjadwal, pihak Koperasi Perikanan Soananto (Koperson) selaku pemenang dan pemilik hak lahan tapak kuda melalui kuasa khususnya, Fianus Arung menyatakan, klaim dr. Sukirman bahwa Rumah Sakit (RS) Aliyah 2 memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) terbukti tidak berdasar karena terbit di atas tanah berstatus HGU, yang secara hukum cacat dan tidak sah.
“Pihak RS Aliah sebenarnya sudah tahu hanya saja pura-pura tidak tahu. Paham aturan tapi pura-pura lupa aturan. Coba pikir dan analisa, ada contoh perlawanan yang nyata kalah. Perlawanan terakhir dari 3 hamparan lahan tapak kuda yang telah mewakili secara keseluruhan,” katanya, Sabtu (4/10/2025).
Amar putusan tersebut kata Fianus, bisa dicek dengan kalimat jelas, “sertifikat yang ada di atas lokasi tersebut tidak berkekuatan hukum” Dengan kata lain semua SHM yang terbit di atas HGU milik Koperson cacat secara yuridis dan tidak memiliki kekuatan hukum. Jadi klaim oleh dr. Sukirman/RS Aliah adalah klaim sia-sia.
Jelas bahwa siapapun yang melakukan perlawanan di atas wilayah HGU milik Koperson akan bernasib sama. Itulah sebabnya PN Kendari mengeluarkan penetapan sita eksekusi pada 2018 lalu. Penetapan sudah ada dan semua pihak wajib tunduk pada perintah hukum, perintah negara.
Selaku kuasa khusus bersama relawan keadilan tidak akan segan untuk lakukan upaya hukum bagi pihak atau oknum yang lakukan perlawanan atau menghambat proses eksekusi. Jika dr. Sukirman merasa hebat untuk lakukan perlawanan, silahkan halangi eksekusi nanti dan nikmati proses hukumnya.
“Bagi pelaksanaan demi tegaknya supremasi hukum, maka tidak pandang bulu. Mau dia dokter, profesor, dosen atau pejabat negara sekali pun, tetap tunduk!,” tegasnya.
Dia mengungkapkan, seluruh bantahan, pembelaan maupun klaim sepihak terkait tanah tersebut sudah tuntas diperiksa dan diputus di pengadilan.
“Putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) tidak bisa diganggu gugat lagi. Apa pun yang diucapkan dr. Sukirman sekarang, entah A, B, atau C, adalah terlambat dan tidak relevan,” ujarnya.
Fianus menyebutkan, pasal 195 HIR/224 RBg: putusan pengadilan yang sudah inkracht wajib dilaksanakan. Dan pasal 54 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: setiap orang wajib menghormati dan melaksanakan putusan pengadilan.
Dengan demikian ujarnya, upaya membantah eksekusi adalah sia-sia dan hanya menimbulkan konsekuensi hukum baru.
Dia mencontohkan perlawanan yang bernasib sama pihak-pihak yang melawan eksekusi lahan HGU dan semuanya berakhir kalah.
Kasus Hotel Zahrah adalah contoh nyata, seluruh perlawanan ditolak, proses hukum berakhir, dan eksekusi tetap dilakukan. Hal ini harus menjadi pengingat bahwa tidak ada jalan menang bagi pihak yang berpegang pada SHM di atas HGU.
Pasien Jangan Dijadikan Tameng
Fianus mengatakan, rumah sakit memang berkewajiban melayani masyarakat, namun pelayanan pasien tidak bisa dijadikan alasan menolak hukum. Menolak eksekusi dengan dalih pasien adalah bentuk obstruction of justice (Pasal 221 KUHP: menghalangi perintah pejabat berwenang dapat dipidana).
RS Aliyah 2 bahkan diimbau agar tidak menerima pasien baru menjelang eksekusi, supaya tidak ada alasan menjadikan pasien sebagai tameng. Masyarakat luas perlu mengetahui bahwa RS Aliyah 2 sudah ditetapkan akan dieksekusi oleh negara, sehingga upaya menghalangi hanya berujung pidana.
Jika dr. Sukirman tetap memaksakan perlawanan, maka tindakannya bukan lagi sengketa sipil, tetapi sudah termasuk kategori melawan perintah negara.
Pasal 212 KUHP: barangsiapa melawan pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah dapat dipidana. Pasal 216 KUHP: menolak atau menghalangi perintah pejabat yang berwenang juga dipidana.
Aparat berhak mengamankan siapa pun yang mencoba menghalangi jalannya eksekusi.
“Kalau dr. Sukirman ingin melawan, silakan tampil langsung di depan saat eksekusi. Biar jelas perlawanan itu terhadap negara, dan aparat bisa segera mengamankan sesuai hukum,” tegasnya lagi.
REDAKSI
https://shorturl.fm/3NjIE